Meringkas sholat yang empat rokaat (Qashr)
Diperbolehkan meringkas shalat yang empat
rokaat menjadi 2 rokaat asalkan memenuhi ketentuan sebagaimana boleh juga
mengerjakan dengan sempurna tetap 4 rokaat.
A. Dalil Hukum Qashr
Shalat
Dalam al-Qur`an dapat ditemukan dalam Q.S.
An-Nisa` 101. Yang artinya :
Dan apabila kamu
bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu menqashar shalat(mu), jika
kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah
musuh yang nyata bagimu.
Adapun dalam hadis
nabi yang mutawatir bahwa Nabi Muhammad SAW. meringkas shalat saat berhaji,
berumrah, dan saat berperang dapat kita temukan dalam beberapa riwayat di
antaranya :
Dari Ibnu Umar
berkata : “ aku telah menemani nabi Saw. dan beliau tidak mengerjakan shalat
yang empat kecuali menjadi 2 rokaat pada saat bepergian begitu dengan Abu
Bakar, Umar, dan Utsman”[1].
Ya`la bin Amiyah
kepada Umar bin Khatab : “ kami tidak mengqashar shalat saat merasa aman
dalam perjalanan”.[2]
Oleh sebab itulah
ahli ilmu bersepakat bahwa seseorang yang bepergian dapat juga meringkas
sholatnya baik bepergian wajib (seperti haji, jihad, hijrah, umrah), atau
sunnah (ziarah, membesuk yang sakit, dll).
B. Syarat Jarak Sah
Meringkas Shalat
Jarak kota Madinah dan Makkah adalah
sekitar 444 km[3] yang dalam sumber lain
disebutkan juga sejauh 320 km dengan
jarak tempuh 8 hari[4].
Dari hal ini dapat kita lihat bahwa jarak meringkas sholat memang
mempunyai kedudukan tersendiri dalam menentukan boleh atau tidaknya seseorang
meringkas shalatnya.
Namun demikian dalam rangka
kehati-hatiannya beberapa fuqoha menetapkan jarak tertentu sebagai syarat
mengqashar shalat sebagai berikut :
1. Jarak yang
diperbolehkan meringkas shalat setidaknya ada 16 farsakh/ + 80,5 km
(jarak berangkat saja), 2 marhalah,
perjalanan 2 hari, atau 3 hari 3 malam. Jika dihitung dengan waktu setidaknya
sehari samalam dengan onta yang membawa beban[5].
2. Berniat : tidak sah
meringkas shalat kecuali telah berniat bepergian sebelumnya. Terkait masalah
niat ini ada 2 hal yang harus diperhatikan :
a. Hendaknya telah
menentukan tujuan dengan jaraknya terlebih dahulu sebelum bepergian, jika tidak maka tidak sah meringkas
shalatnya. Contoh : orang yang bepergian tidak jelas tujuannya meski telah
mengelilingi dunia[6]
tidak sah meringkas sholatnya. Demikian pula ketika memutuskan menghentikan
perjalanannya karena hendak menetap juga tidak boleh qasr.
b. Tujuan bepergiannya
karena diri sendiri bukan mengikuti orang lain: jika anak buah mengikuti
tuannya atau istri ikut kemana saja suami pergi hal ini tidak diperbolehkan
meringkas shalatnya.
c. Dilakukan oleh
seorang yang baligh : anak yang
belum baligh tidak ada ketentuannya dalam hal ini.
d. Bagi seorang musafir
berpautan dengan beberapa hukum yaitu jamak qashar, ifthar, dan mengusap
sepatu.
3. Tidak bepergian
karena maksiat.
C. Hukum Mengqashar Shalat dalam Perjalanan
Haram atau Makruh
Diantara
syarat yang harus dipenuhi untuk dapat meringkas shalat adalah perjalanan yang
dilakukan bukan dalam rangka bermaksiat, menipu, merampok, mencuri dan
perbuatan haram lainnya serta bukan perjalanan yang makruh.
D. Tempat Diperbolehkannya Mulai Meringkas
Shalat
Musafir
tidak diperbolehkan meringkas kecuali telah memulai perjalanannya dan
meninggalkan tempat tinggalnya (wilayah tinggal) dengan jarak tertentu. Ulama madzhab berbeda pendapat dalam hal ini :
a. Syafi`iyah : seseorang boleh memulai mengerjakan shalat qashar jika
telah meninggalkan
tempat tinggalnya beserta bangunan-bangunan di wilayahnya seperti jembatan,
pagar tapal batas dll. (untuk perjalanan darat). Sedangkan untuk perjalanan
laut dapat mulai mengqashar jika kapal/perahu telah mulai bergerak maju.
b. Hambaliyah : musafir boleh mulai mengqashar sholat
jika telah meninggalkan wilayah tinggal dan lingkungannya secara urf (secara umum).
c. Hanafiyah : dianggap boleh jika telah berpisah
dari bangunan-bangunan di wilayahnya.
d. Malikiyah : untuk musafir yang meninggalkan rumah
(penduduk kampung) pada saat meninggalkan bangunan-bangunan dan kebun di
wilayahnya maka dianggap telah boleh mengqashar shalat.
Adapun musafir
nomaden boleh mengqashar shalat saat meninggalkan semua area perkemahannya secara fisik.
E. Hal yang Membatalkan Qashr
a. Hal yang membatalkan qashar adalah adanya
niat tinggal. Fuqaha memberikan penjelasan yang berbeda :
1. Hanafiyah : tidak diperbolehkan qashr jika telah
berniat tinggal selama I5 hari[7] (dianggap
mukim/menetap). Selain itu juga
tidak boleh qashr jika terjadi hal-hal berikut :
a)
Jika
niatan tersebut sampai dikerjakan
b)
Bermukim di tempat yang layak.
c)
Tempat
yang dijadikan mukim adalah satu tempat.
d)
Merupakan
kehendak sendiri (tidak mengikuti orang lain).
2. Hambaliyah : tidak boleh lagi mengqashar shalat jika
a)
Telah
berniat tinggal, meski tinggal di tempat yang tidak layak.
b)
Tinggal
di suatu tempat yang telah melewatkan shalat sebanyak 20 waktu (4 hari).
c)
Bagi
orang yang harus tinggal di tengah perjalanan tanpa tahu berapa lama dia
tinggal masih berlaku hukum qashar baginya.
3) Malikiyah : Hukum safar dianggap putus dan tidak
boleh qashar jika :
a)
Berniat
tinggal selama 4 hari (selain waktu masuk dan keluar) yang dengan
hal ini dianggap mukim[8].
b)
Telah
berkewajiban shalat 20 waktu.
4) Syafi`iyah : qashar tidak sah dilakukan jika :
a)
Berniat
tinggal 4 hari.
b)
Jika
kurang 4 hari atau tinggal tanpa niat kurang dari 4 hari baginya masih berlaku
hukum safar.
5) Ibnu Abbas : Jika sampai 19
hari dianggap mukim.
b. Qashar juga batal jika telah kembali ke
tempat diperbolehkannya awal mengqashar shalatnya.
c. Barang siapa
mengqadla shalat hadhar ketika safar maka harus dikerjakan secara sempurna,
begitu juga sebaliknya.
Mengumpulkan
2 Shalat (jamak)
A. Pengertian Jamak
Menjamak
berarti mengumpulkan 2 pekerjaan shalat pada waktu salah satunya baik di awal
(jamak takdim) ataupun akhir (jamak takhir). Dalam hal ini jenis shalatnya
telah ditentukan yaitu antara Dhuhur dengan Ashar dan Maghrib dengan Isya`.
B. Hukum dan Sebab
Hukum
melaksanakannya adalah jawaz (boleh), sedangkan sebab dan syarat
diperbolehkannya menjamak shalat adalah berikut :
1. Malikiyah : sebab menjamak shalat adalah musafir,
sakit, hujan, berhaji.
i)
Musafir : semua perjalan (tanpa menghitung jarak qashr) termasuk dalam
kategori ini kecuali yang diharamkan. Boleh menjamak jika matahari telah
bergeser saat sampai tempat peristirahatan (dhuhur ~ashar).
Jika baru berniat pergi setelah matahari terlihat
kekuning-kuningan (menjelang maghrib) maka hendaknya shalat dhuhur dahulu
kemudian menunggu hingga hilang warna kuning lantas shalat ashar (tidak dijamak),
boleh menjamak namun makruh (berbeda jika berniat pada saat waktu masih
tersisa panjang).
Dalam menjamak
diutamakan untuk perjalanan darat karena dianggap paling berat halangannya bukan pada perjalanan lainnya.
ii)
Marod/Sakit : seorang
yang sakit dan bersusah payah setiap kali bersuci atau penyakit yang datangnya
tiba-tiba diperbolehkan menjamak shalatnya.
iii) & iv)
Hujan
& lumpur : hujan
dan lumpur dalam keadaan gelap saat hujan deras memperbolehkan seseorang
menjamak shalatnya namun terbatas di masjid bukan di rumah (khusus untuk
berjamaah di masjid).
iv)
Berhaji : hal terakhir yang memperbolehkan menjamak
shalat adalah saat melakukan ibadah haji yang biasanya saat menuju Arofah dan
Muzdalifah.
2.
Syafi`iyah : diperbolehkan menjamak shalat dengan takdim atau takhir bagi
musafir dengan jarak yang telah diperbolehkan untuk meringkas shalat dengan
syarat di awal.
Selain itu boleh meringkas dalam keadaan hujan. Untuk jamak takdim
ada beberapa syarat yang harus dipenuhi :
i)
Berurutan
dengan mengerjakan shalat yang awal lebih dahulu.
ii)
Niat
menjamak di waktu awal dan niat menjamak yang kedua dalam hati setelah selesai
dari yang pertama.
iii)
Beriringan
iv)
Masih
dalam perjalanan hingga
saat mengerjakan shalat yang kedua.
v)
Masih
tersisa waktu shalat pertama sampai mengerjakan yang kedua.
Adapun syarat jamak takhir adalah berikut
:
i)
Niat
jamak takhir
ii)
Masih ada
waktu sampai mengerjakan keduanya.
Dalam keadaan hujan seorang yang mukim
juga boleh menjamak takdim shalatnya, syarat diperbolehkan saat hujan adalah
berikut :
i)
Mulai terjadi
hujan saat takbiratul ihram pada keduanya dan saat salam yang pertama.
ii)
Tertib
dilakukan
iii)
Beriringan
iv)
Berniat
menjamak
v)
Mengerjakan
yang kedua tetap dalam jamaah meskipun hanya saat takbiratul ihram saja.
vi)
Jika
mengerjakan seperti biasa memberatkan.
3.
Hanafiyah : tidak boleh menjamak 2 shalat dalam satu waktu saat pergi ataupun
mukim kecuali memenuhi syarat di bawah ini :
i) Boleh menjamak takdim hanya pada saat hari Arofah.
i) Boleh menjamak takdim hanya pada saat hari Arofah.
iii)
Boleh menjamak saat sedang berihram saat haji.
iv)
Untuk
menjamak shalat maghrib dengan isya` hanya dilakukan jika sedang berada di
Muzdalifah atau sedang ihram haji.
4.
Hambaliyah : menjamak 2 shalat dalam satu waktu adalah mubah namun yang paling
utama adalah tidak melakukannya (meninggalkannya).
C.
Perbedaan Jamak & Qashar
Qashar dianjurkan dikerjakan sedangkan jamak
tidak.
Qashar dikerjakan karena bepergian sedangkan
jamak tidak.[9]
Maraji`
Muhammad bin Abdur Rahman. (tanpa tahun). Rohmatul
Ummah. Surabaya: Al-Hidayah.
Abdur Rahman al-Juzairi. 2006. Al-Fiqhu
`Ala Madzhahibul al-Arba`ah. Lebanon : Dar- El-Fikr.
Muhammad Husaini al-Hisni. (tanpa tahun). Kifayatul
Akhyar. Surabaya : Dar- El-Ilmi.
Wahbah Az-Zuhaili. (2008). Al-Fiqhu
al-Islam wa Adillatuhu. Damsyik : Dar-el-Fikr.
[8] Seorang muhajir
dianggap telah mukim jika telah tinggal selama lebih dari 3 hari. H.R. Bukhari
& Muslim.
[9] Ibnu Mas`ud berkata : Demi Dzat yang tiada Tuhan kecuali Dia, bahwa
Rosul SAW. tidak pernah sholat kecuali pada waktunya, kecuali menjamak Dhuhur
dengan Ashar dan Maghrib dengan Isya` pada saat di Arofah dan Muzdalifah. H. R.
Bukhari Muslim.
No comments:
Post a Comment