BAB IV
(الْإِسْتِنْجَاءْ)
ISTINJA`
dalam istilah lain juga disebut istithobah juga istijmar
(bersuci memakai batu), dalam sebuah riwayat istinjak dengan air dilakukan
pertama oleh Ibrahim A.S. lalu Nabi Muhammad, selanjutnya ada juga dengan
menggunakan batu.
HUKUM ISTINJAK
Istinjak dari segala bentuk najis yang
keluar wajib hukumnya, meskipun sesuatu yang langka (darah, nanah, madzi,
wadi) dan semua dilakukan setelah
terhentinya kotoran yang keluar, jika tidak istinjaknya tidak sah (Malikiyah
& Hambaliyah).[1]
ADAB QODHI HAJAT (Buang
Hajat)
Telah kita ketahui bersama bahwa syara` telah menetapkan
aturan mengenai Qodhi Hajat antara lain, cara mensucikannya ada istilah
istinja` ( jika pakai air), dan ada juga Istijmar (jika pakai batu). Jika selanjutnya muncul pertanyaan
yang mempermasalahkan kenapa syara` menentukan bab tentang thoharoh
(kususnya) yang sebenarnya sudah lazim
dilakukan orang pada umumnya dan seakan mempersulit serta bertele –tele.
Jawabnya adalah apapun yang
disariatkan dalam Islam tidaklah sia – sia, banyak hikmah dan manfaat yang
didapatkan darinya, oleh karena itulah sebenarnya semua hal mengenai
istijak(beserta seluruh hal tentang thoharoh) amat besar manfaatnya. Dibawah
ini adalah yang berkaitan tentang haram, wajib, haram mandub dan makruh
yang berhubungan dengan Qodhi hajat.
1)
Hal yang wajib ketika istinja`; Hal yang
wajib ketika istinja` adalah Istibro`(mengeluarkan sisa – sisa kotoran setelah kencing/B.A.B,dalam istilah
jawa ngeden) ini dilakukan sampai yakin tidak ada sisa kotoran pada saluran
pembuangan. Biasanya ada beberapa orang yang kencing setelah dia berjalan jauh
atau banyak bergerak, sehingga terkadang kurang tuntas, jika merasa masih ada
yang menetes lalu dia berwudhu maka sia – sia saja. Sebagian ahli fiqih
berpendapat istibro`
tidakwajib
kecuali jika yakin masih ada sesuatu pada saluran pembuangan. Namun sebagian
berkata wajib sampai yakin pada saluran tidak ada lagi kotoran yang tersisa[2].Syafi`iyah: Istibro` tidak wajib kecuali jika yakin ada
kotoran pada saluran.
2) Tempat yang
haram dipakai buang hajat
diantaranya kuburan yang disisi lain Nabi telah menganjurkan berziarah kubur
agar dapat mengambil ta`bir (pelajaran), jika ada yang melakukannya maka dia
termasuk orang yang sangat bodoh.Selain itu juga dilarang dijadikan tempat
berjemur tempat duduk bersama dll, karena semua dianggap sangat tidak berahlak.
3)
Tidak
boleh buang hajat disaluran air / kolam yang tidak mengalir, menurut 3 madzhab
dianggap haram, namun dalam madzhab Syafi`i dianggap makruh buang hajat pada
kolam yang mengalir.
4)
Haram
ditempat yang dilewati banyak orang, tempat berteduh. Syafiiyah &
Hambaliyah mengatakan makruh.
5)
Haram
buang hajat menghadap atau juga membelakangi Ka`bah ditempat terbuka. Begitu
juga dari arah angin karena bau yang menyebar kemana – mana.
6)
Tidak
boleh menghadap matahari & bulan. Yang terakhir adalah istinjak dengan
tangan kirinya.
SYARAT ISTINJAK DAN ISTIJMAR(Baik dengan air, batu dsb)
Adapun jenis air yang dipakai istinjak adalah air
suci yang mensucikan (اَلطَّهُوْرُ) Hanafiyah berpendapat istinjak bisa juga dengan
air suci meski tidak mensucikan). Selanjutnya air yang dipakai haruslah
mencukupi, jika tidak cukup maka tidak dikerjakan tetapi air yang ada dipakai
membersihkan qubul dulu menurut Maliki, Syafii, Hambali, sedang menurut
sabagian Hanafiyah dubur dulu.
Adapun batu juga berfungsi seperti air dalam thoharoh meski terdapat
air akan tetapi air tetap yang paling sempurna yang afdhol adalah memakai batu
baru dengan air. Sedangkan batu yang dimaksud adalah benda yang keras tidak
berupa benda yang dianggap muliya, bukan makanan uga bukan kotoran dll.
THOHAROH BAGI YANG BESER
Sesungguhnya syariat Islam telah mengatur dengan cara yang
sedemikian sempurna yang juga disisilain sebenarnya Islam tidak memberatkan
seseorang dengan suatu aturan tertentu.
Oleh karenanya Allah berfirman dalam Al Qur`an (وَمَاجَعَلَ عَلَيكُمْ فِي الدِّيْنِ مِنْ حَرَجٍ) Dan Dia tidak menjadikan untuk-Mu dalam agama
dari suatu kesusahan Al-Haj 78. Oleh karenanya segala hal yang dianggap
terlalu memberatkan dan menyusahkan
dianggap tidak wajib dikerjakan.
Dari hal tersebut maka setiap orang yang mempunyai udzur tertentu
seperti beser, terus menerus keluar darah, madzi, dsb baginya hanya cukup
bersuci saat hendak sholat saja layaknya orang sehat[3]
[1]Hanafiyah : Hukum istinjak dan sejenisnya
sepertiistijmar (istinjak dengan batu jika kotoran tidak
belepotan kemana - mana) adalah sunah muakad baik lelaki / perempuan, jika
tidak dikerjakan hukumnya makruh. Jika kotoran telah sampai sebesar
dirham maka wajib dibersihkan dengan air (karena sudah termasuk bab
menghilangkan najis, bukan istinja`nya). Begitu juga najis yang mengenai ujung
uretra(dzakar) jika sampai seukuran dirham wajib pakai air.
Hal ini juga berlaku untuk kulit uretra yang belum disunat
yang terkena najis yang sebesar dirham wajib memakai air saat bersuci. Namun
menurut Muhammad R.A. setiap najis yang
keluar yang telah melewati batas permukaan (lewat dubur/ pantat) wajib
disucikan dengan air sedikit/ banyak.
Kesimpulan
Dalam madzhab Hanafi
dikatakan bahwa menghilangkan najis (istinja`) hukumnya sunah muakad untuk
setiap yang keluar baik wajar (kotoran) atau
tidak wajar (nanah). Jika telah
mencapai sebesar dirham maka wajib menggunakan air. Berbeda dengan muhammad
yang memutlakkan harus memakai air, bahkan sampai istibro (sisa kotoran
yang kadang masih keluar seperti habis kencing yang kadang masih sedikit
keluar).
Malikiyah ; Asal mula
istinja` adalah sunah, disunahkan bagi Qodhi hajat (yang buat
hajat) membersihkannya dengan air atau batu. Namun wajib memakai air dalam
beberapa hal ; 1) Kencing wanita
gadis / janda. Semacam ini wajib membersihkan bagian yang tampak saat duduk.
Baik najis yang keluar sampai pada batas yang tampak saat duduk/ tidak. Kecuali
bagi yang terbiasa (seperti beser) yang setiap hari keluar sekali/ lebih, jika
demikian maka hukumnya adalah sunah untuk mensucikannya. 2) Najis yang
keluar secara umum dikatakan banyak (banyak disini bermakna lebih dari batas
menetes ). Sebagaimana BAB yang mengenai bokong, atau kencing sampai kena
sekitar dzakar. Jika demikian wajib
membasuh dengan air seluruhnya, bukan hanya bagian terkena saja. 3) Madzi yang
keluar disertai rasa (sahwat) wajib dibasuh seluruhnya. 4) Sperma yang
keluar namun tidak mewajibkan mandi, dalam hal ini ada 2 contoh; a)Hendaknya berada
pada tempat yang susah air atau ada namun tidak mencukupinya, maka air yang
cukup dia pakai membersihkan bekas sperma, sedang sisanya dia bertayamum.
Selanjutnyaorang yang sakit sehingga tidak bisa memakai air dia cukup memakai
batu saja. b) Sperma yang setiap hari keluar (seperti beser), hal
ini hukumnya dima`fu dan tidak wajib istinja` dengan air juga batu, namun semua
itu hanya diwajibkan jika terdapat air yang mencukupi, jika tidak ada maka
tidak wajib. 5) Haid juga nifas yang terjadi saat seorang wanita
sedang terhalang memakai air (karena udzur).
Saat semua itu
terjadi namum seseorang tidak mendapat airataupun ada namun kurang atau juga
sakit sehingga tidak dapat memakai air maka dia wajib bertayamum.
[3]Hanafiyah : Dalam hal ini ada 3 hal yang diperhatikan; 1.
Pengertian “tsulal”. 2.
Hukum. 3. Kewajiban atas orang yang bersangkutan. 1) Pengertian :
“Tsulal” adalah istilah dimana seseorang susah mengontrol hadas
seperti buang angin terus – menerus, beser terus – menerus, istihadoh &
juga semisalnya yang terjadi diluar kontrol. Hal semacam ini hukumnya di
nisbatkan menjadi orang yang sedang udzur (shohibul udzri)dan
terhitung disaat menjelang waktu sholat hingga habis waktunya, namun jika
diluar waktu sholat tidak termasuk shohibul udzri. Begitu juga seorang di katakan
tidak berudzur lagi jika senggang waktunya selama waktu sholat tidak
mengeluarkan apapun.
2). Hukum: Orang seperti ini harus berwudhu
disetiap datang waktu sholat (5 waktu) dan boleh sholat fardhu sebanyak –
banyaknya dari satu kali wudhunya tersebut begitu juga sholat sunnah. Jika
waktu setiap sholatnya telah habis (dhuhur telah masuk ashar misalnya) maka
wudhunya juga batal disebabkan hadas yang ditanggungnya diawal – awal waktu
(sebelum udzur terjadi). Dari hal ini dapat disimpulkan bagi yang berudzur
wudhunya batal sebab habisnya waktu sholat,
jika wudhunya dilakukan pada saat dhuha sampai dengan waktu dhuhur wudhunya
tidaklah batal dan seterusnya (di anggap batal jika telah masuk ashar). Termasuk membatalkan wudhu adanya hadas lain
(bukan dari beser yang dialami) seperti buang angin dsb. Sedang kewajiban lain
baginya adalah berusaha semaksimal mungkin untuk menetralisirnya (berobat)
dengan bantuan tabib atau dokter dan sebagainya. Begitu juga untuk baju yang
dipakai saat sholat jika susah menjaganya karena keluar najis terus menerus
maka dia boleh memakainya hingga sholat telah usai.
Hambaliyah : Barang siapa yang daim hadas (berhadas
secara terus - menerus) maka wudhunya tidak batal dengan beberapa sarat berikut
ini; 1). Membersihkan & membalut rapat tempat keluarnya
tersebut. 2) Hadas terjadi secara
terus – menerus, artinya tidak berhenti sampai dengan adanya kesempatan untuk
melaksanakan wudhu dan sholat, jika masih ada kesempatan tersebut wajib baginya
melakukan sholat diwaktu tersebut dan dia tidak dikatakan berudzur, jika
biasanya waktu berhentinya tidak cukup dipakai untuk bersuci lalu dia pakai
bersuci maka wudhunya batal. 3) Masuknya waktu, jika sebelum masuknya
waktu dia berwudhu maka itu juga dianggap tidak sah, kecuali wudhu yang
dilakukan untuk sholat yang lewat (qodho) juga sholat janazah. Dia juga
diwajibkan berwudhu disetiap waktu
sholat jika hadas keluar secara bertahap (jika terbukti tidak berhadas maka
tidak wajib wudhu, kecuali adanya hadas lain diluar udzur), bagi yang berudzur
dengan wudhunya boleh mengerjakan sholat fardhu & sunah sebanyak apapun,
Jika dengan berdiri khawatir mengeluarkan hadas maka dia sholat dengan duduk
begitu juga dengan ruku` dan sujud dikerjakan dengan duduk tetapi tidak boleh
hanya dengan isyarat.
Malikiyah: Suatu yang keluar dari seseorang saat sakit baik
berupa beser dsb tidak membatalkan wudhu dengan beberapa sarat; 1
Hendaknya berlangsung lebih dari setengah waktu sholat, jika diwaktu shubuh
seorang mengalami beser setelah 2 jam berhenti dan dia masih ada waktu untuk
sholat maka tidak disebut udzur, selanjutnya dia berwudhu untuk sholat dhuhur.
Begitu juga ketika jika terus – terusan buang angin jika berlangsung kurang
dari separuh waktu sholat tidak termasuk dalam berudzur. 2 Terjadi pada
saat tidak dapat ditahan lagi, jika masih memungkinkan ditahan, seperti jika dapat dipastikan setelah
beberapa saat akan berhenti dan memungkinkan untuk wudhu dan sholat maka dia
tidak boleh berwudhu dulu, melainkan harus menunggu hingga berhenti baru
berwudhu dan sholat.
Sebaliknya tidak boleh mengakhirkan
sholat jika biasa berlangsung sepanjang waktu sholat.
No comments:
Post a Comment