KAFAAH
Dalam menikah seyogyanya haruslah satu
kafaah/kufu`[1]
, namun jika wanita dan walinya telah sepakat menerima maka hukum pernikahan
tetap sah meski tidak sekufu`. Imam Ahmad menganggap tidak sah, jika seorang
dari walinya menikahkan wanita meski dengan
seijinnya dengan lelaki tidak
sekufu` dianggap tidak sah menurut imam Syafi`i. Imam Maliki berpendapat jika
seorang wali menikahkan wanita dengan seorang muslim maka tidak ada wali lain
yang dapat menggugatnya.
STATUS KAFAAH
Menurut imam Syafi`i kafaah setidaknya
mencakup 5 hal, 1. Agama, 2. Nasab. 3. Pekerjaan/berpenghasilan. 4.status
merdeka (bukan budak). 5. Tidak ada cacat. Sebagian sahabatnya mensyaratkan
mudah mendapat penghasilan.
Menurut sebuah qaul Abu Hanifah seperti
qaul imam Syafi`i namun tidak menyertakan tidak ada cacat. Muhammad bin Hasan
tidak memasukkan agama dalam kafaah, namun seandainya terdapat seorang pemabuk
maka sudah tentu dilecehkan anak-anak kecil.
Imam Maliki berkata : Kafaah hanya dalam
agama saja. Ibnu Abi Laila berucap kafaah dalam 3 hal yaitu agama, nasab, dan
harta benda, dan hal ini salah satu pendapat Abu Hanifah. Abu Yusuf menambahkan
pekerjaan. Imam Ahmad dalam satu qaulnya seperti imam Syafi`i, sedang yang lain
hanya menyertakan agama dan pekerjaan. Sahabat imam Syafi`i menambahkan umur
dan rupa namun tidak dianggap shahih.
Selanjutnya
apakah dalam kafaah membatalkan pernikahan. Abu Hanifah berkata wajib bagi wali
menggunakan haknya untuk membatalkannya. Maliki berkata nikahnya menjadi batal.
Syafi`i ada 2 pendapat yang paling
shohih nikah menjadi batal jika istri dan wali sama-sama menghendakinya. Imam
Ahmad dalam salah satu riwayatnya yang paling jelas adalah batalnya nikah.
Ketika wanita menuntut dalam pernikahannya masalah kafaah dengan tanpa mahar
misil (tidak mendapatkan mahar semisalnya) menurut Syafi`i Maliki dan Ahmad
serta Abu Yusuf dan Muhammad wali harus mengabulkannya. Abu Hanifah berkata wali tidak harus melakukannya. Adapun menikah
tidak sekufu` dalam nasab tidak haram.
No comments:
Post a Comment