Monday, March 16, 2015

Istihsan



A.    ISTIHSAN
a.      Pengertian Istihsan
Secara etimologi istihsan berarti “menyatakan dan menyakini baiknya sesuatu.” Secara terminologi imam al-Sarakhsi (w.483. H/1090M ahli ushul fiqih Hanafi) menyatakan.

الاِسْتِحْسَانُ هُوَ تَرْكُ القِيَاسِ وَالعَمَلُ بِمَا هُوَ اَقْوَى مِنْهُ لِدَ ِلْيلٍ يَقْتَضِى ذَلِكَ وِفْقًا لِمَصْلَحَةِ النَّاِس
“Istihsan itu berarti meninggalkan qiyas dan mengamalkan yang lebih kuat dari itu, karena adanya dalil yang menghendakinya serta lebih sesuai dengan kemaslahatan umat manusia.”
Adapun dikalangan Syafi’iyah tidak ditemukan definisi istihsan, karena sejak semula mereka tidak menerima istihsan sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum syara’. Dalam masalah ini imam syafi’i mengatakan
مَنِ اسْتَحْسَنَ فَقَدْ شَرَعَ
 “Barang siapa yang membuat istihsan maka ia telah membuat syara’.
Imam Ghazli (dari kalangan Syafi’iyah seperti yang dikemukakan diatas, secara tegas memang menolak istilah istihsan, Imam Ghpzali mengatakan bahwa istihsan yang dikemukakan Imam al-Karakhi (tokoh ushul fiqih hanafiyah) ada 4 bentuk yaitu :
  1. Meninggalkan qiyas al-Jaliy dan mengambil qiyas al-Khafiy, karena ada imdikasi yang menguatkannya,
  2. Meninggalkan qiyas karena mengikuti pendapat sahabat,
  3. Meninggalkan qiyas karena ada hadits yang lebih tepat,
  4. Meninggalkan qiyas karena adat kebiasaan (‘urf menghendakinya).
Imam Ghozali mengatakan bahwa 3 bentuk pertama dapat diterima, tetapi bentuk terakhir termasuk istihsan al-bathil (istihsan yang batil). Dengan demikian istihsan yang ditolak Imam Ghozali adalah istihsan al -‘Urfi.
Dari berbagai definisi istihsan yang dikemukakan ulama madzhab diatas maka dapat disimpulkan bahwa esensi dari istihsan adalah :
  1. Mentarjih qiyas al-khafiy dari pada qiyas al-jaliy karena ada dalil yang mendukungnya.
  2. Memberlakukan pengecualian hukum juz’i dari hukum kulli dan kaidah umum didasarkan pada dalil khusus yang mendukungnya.
b.      Macam-macam istihsan.
Ulama Hanfiyah membagi istihsan kepada 6 macam yaitu :
  1. Istihsan bi al-nash/بِالنَّصِّ الاِسْتِحْسَانُ (istihsan berdasarkan ayat atau hadits)
  2. Istihsan bi al-ijma’/ بِالِاجْمَاعِ الاِسْتِحْسَانُ (istihsan yang didasarkn pada ijma’)
  3. Istihsan bi al-qiyas al-khafiy /الاِسْتِحْسَانُ بِالقِيَاسِ الخَفيِ  (istihsan berdasarkan qiyas yang tersembunyi)
  4. Istihsan bi al-maslahah/ بِالمَصْلَحَةِ الاِسْتِحْسَانُ (istihsan berdasarkan kemaslahatan)
  5. Istihsan bi al-‘urfi/  الاِسْتِحْسَانُ بِالعُرْفِ (istihsan berdasarkan adat kebiasaan yang berlaku umum)
  6. Istihsan bi al-darurah/  بِاالضَّرُوْرَةِ الاِسْتِحْسَانُ (istihsan berdasarkan keadaan darurat)

c.       Kehujahan istihsan
Terdapat perbedaan pendapat ulama ushul fiqih dalam menetapkan istihsan sebagai salah satu metode/dalil dalam menetapkan hukum syara’. Alasan yang mereka kemukakan adalah:
  1. Ayat-ayat yang mengacu kepada mengangkatkan kesulitan dan kesempitan dari umat manusia. Firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah ayat 185
يُرِيْدُاللهُ بِكُمُ اْليُسْرَ وَلاَ يُرِيْدُ بِكُمُ العُسْرَ
 “Allah menghendaki kemudahan bagi kamu dan tidak menghendaki ksukaran bagi kamu.”
Rasulullah SAW dalam riwayat ‘Abdullah ibn mas’ud mengatakan
مَا رَاَهُ المُسْاِمُوْنَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَاللهِ حَسَنً
 “Sesuatu yang dipandang baik oleh umat islam maka ia juga dihadap Allah adalah baik. (H.R. Ahmad ibn Hambal).
Hasil penelitian dari berbagai ayat dan hadits terhadap berbagai permasalahan yang terperinci menunujukan bahwa memberlakukan hukum qiyas adakalanya membawa kesulitan bagi umat manusia. Sedangkan syariat islam ditujukan untuk menghasilkan dan mencapai kemaslahatan manusia.
Ulama Syafi’iyah, Zahiriyah. Syi’ah dan mu’tazilah tidak menerima istihsan sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum syara’. Alasan mereka sebagaimana yang dikemukakan Imam Syafi’i adalah :
  1. Hukum-hukum syara’ itu ditetapkan berdasarkan nash (al-Qur’an dan Hadits) dan pemahaman terhadap nash melalui qaidah qiyas. Istihsab bukanlah nash dan bukan pula qiyas.
  2. Sejumlah ayat telah menuntut umat islam untuk taat dan patuh kepada Allah dan Rasul-Nya dan secara tegas melarang mengikuti hawa nafsu dalam persoalan yang dihadapi manusia.
  3. Istihsan adalah upaya penetapan hukum dengan akal dan hawa nafsu saja.
  4. Rasulullah SAW tidak prenah mengeluarkan fatwanya berdasarkan istihsan.
  5. Rasulullah telah membantah fatwa sebagian sahabat yang berada didaerah ketika mereka menetapkan hukum berdasarkan istihsan (sangkaan baik) mereka.
  6. Istihsan tidak mempunyai kriteria dan tolak ukur yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan.
B.     MASLAHAH Al-MURSALAH.
a.      pengertian Mashlahah
Salah satu metode yang dikembangkan ulama usul fiqih dalam mengistinbatkan hukum dan nash adalah maslahah al-mursalah, yaitu sesuatu kemaslahatan yang tidak ada nash juz’i (rinci) yang mendukungya, dan tidak ada pula yang menolaknya dan tidak ada pula ijma’ yang mendukungya, tetapi kemaslahatan ini didukung oleh sejumlah nash melalui cara istiqra’ (induksi dari sejumah nash).
Secara etimologi mashlahah sama dengan manfaat, baik dari segi lafal maupun makna. Maslahah berarti manfaat atau suatu pekerjaan yang mengandung manfaat.
Secara terminologi, terdapat beberapa definisi mashlahah yang dikemukakan ulama ushul fiqih, tetapi seluruh definisi tersebut mengandung yang sama. Imam Ghozali mengemukakan bahwa pada prinsipnya mashlahah adalah mengambil manfaat dan menolak kemudharatan dalam rangka memelihara tujuan syara’. Tujuan syara’ yang harus diperlihara tresebut ada 5 yaitu:
  1. memlihara agama
  2. Jiwa
  3. Akal
  4. Keturunan
  5. Harta
b.      Macam-macam mashlahah.
Para ahli ushul fiqih mengemukakan beberapa pembagian mashlahah jika dilihat dari beberapa segi.
Dilihat dari segi kualitas dan kepentingannya kemashlahatan itu, para ahli ushul fiqih membagi kepada 3 macam yaitu :
  1. Mashlahah al-dharuriyyah (المَصْلَحَةُ الضَّرُوْرِيَّةِ)yaitu kemashlahatan yang berhubungan langsung dengan kebutuhan pokok umat manusia di dunia dan di akhirat kemashlahatan ini ada 5 yaitu:
1)      Memelihara agma,
2)      Memelihara jiwa,
3)      Memelihara akal,
4)      Memelihara keturunan,
5)      Memelihara harta. Kelima kemashlahatan ini disebut dengan al- mashlahah al-khomsah.
  1. Mashlahah al-hajiyyah(المَصْلَحَةُ الحَاجِيَّةِ) yaitu kemashlahatan yang dibutuhkan dalam menyempurnakan   kemashlahatan pokok (mendasar) sebelumnya yang berbentuk keringanan untuk mempertahankan dan memlihara kebtutuhan mendasar manusia.
  2. mashlaha al-tahtsiniyah(المَصْلَحَةُ النَّحْسِنِيَّةِ) yaitu kemashlahatan yang sifatnya pelengkap berupa keluasan yang dapat melengkapi kemashlahatan sebelumnya
Dilihat dari segi kandungan mashlahah, para ulama usuhl fiqih membaginya kepada :
  1. Mashlahah al-‘Ammah(المَصْلَحَةُ العَامَّةِ) yaitu kemashlahatan umum yang menyangkut kepentingan orang banyak.
  2. Mashlahah al-Khashashah, (المَصْلَحَةُ الخَصاصَةِ) yaitu kemashlahatan pribadi dan ini sangat jarang sekali, seperti kemashlahatan yang berkaitan dengan pemutusan hubungan perkawinan seseorang yang dinyatakan hilang (maqfud).
Dilihat dari segi berubah atau tidaknya mashlahah, menurut Muhammad Musthafa al-Syalabi, guru besar ushul fiqih diuniversitas al-Azhar Mesir, ada dua bentuk, yaitu :
  1. Mashlaha al-tsabitah, (المَصْلَحَةُ الثَّاِبتَةِ) yaitu kemashlahatan yang bersifat tetap, tidak berubah sampai akhir zaman, musalnya berbagai kewajiban ibadah, seperti shalat, puasa, zakat dan haji.
  2. Mashlaha al-mutaghayyirah(مَصْلَحَةُ المُتَغَيَّرَةِ) yaitu kemaashlahatan yang berubah-ubah sesuai dengan perubahan tempat, waktu, dan subjek hukum , seperti permasalahan mu’amalah dan adat kebiasan dan lain- lain.
Dilihat dari keberadaan mashlahah menurut syara’ terbagi kepada :
  1. Mashlahah al-mu’tabarah(المَصْلَحَةُ المُعْتَبَرَةِ) yaitu kemashlahatan yang didukung oleh syara’
  2. Mashlahah al-mulghah(المَصْلَحَةُ المُلْغَاةِ) yaitu kemashlahatan yang ditolak oleh syara’ karena bertentaagan oleh syara’
  3. Mashlahah al-mursalah (المَصْاَحَةُ المُرْسَلَةِ)yaitu kemaslahatan yang keberadaannya tidak didukung oleh syara’ dan tidak pula dibatalkan/ditolak syara’ melalui dalil yang rinci.  Kemashlahatan dalam bentuk ini dibagi 2 yaitu :
1)      Mashlahah al-gharibah  yaitu kemashlahatan yang asing atau kemashlatan yang sama sekali tidak ada dukungannya dari syara’ baik secara rinci maupun secara umum. Para ulama ushul fiqih tidak dapat memberikancontoh pastinya. Bahkan Imam al-Ayatibhi mengatakan kemaashlahatan yang seperti ini tidak ditemukan dalam praktik sekalipun ada dalam teori.
2)      Mashlahah al-mursalah yaitu kemashlahatan yang tidak didukung dalil syara’ atau nash yang rinci, tetapi didukung oleh sekumpulan makna nash (ayat atau hadits).
c.       Kehujjahan Mashlahah
Para ulama ushul fiqih sepakat menyatakan bahwa maslahah al-mu’tabarah dapat dijadikan hukum sebagai hujjah dalam menetapkan hukum islam. Kemashlahatan seperti ini termasuk metode qiyas. Mereka juga sepakat bahwa mashlaha al-mulghah tidak dapat dijadikan hujjah dalam menetapakan hukum islam, demikian juga dengan mashlahah al-gharibah karena tidak ditemukan dalam praktik syara’. Adapun terhadap kehujahan mashlahah al-mursalah, pada prinsipnya jumhur ulama menerimanya sebagai salah satu alasan dalamm enetapkan hukum syara’, sekalipun dalam penerapannya dan penempatannya mereka berbeda pendapat .
Untuk bisa menjadikan mashlahah al-murshalah sebagai dalil dalam memetapkan hukum ulama Malikiyah dan Hanbilah mensyaratkan 3 syarat yaitu :
  1. Kemashlahatan itu sejalan dengan kehendak syara’ dan termasuk dalam jenis kemashlahatan yang didukung nash secara umum.
  2. Kemashlahatan itu bersifat rasional dan pasti, bukan perkiraan sehingga hukum yang ditetapkan melalui mashlahah al-mursalah itu benar-benar menghasilkan manfaat dan menghindari menolak kemudharatan.
  3. Kemashlahatan itu menyangkut kpeentingan orang banyak, bukan kepentingan pribadi atau kelompok kecil tertentu.
Ulama syafi’iyah pada dasarnya juga menjadikan mashlahah al-mursalah sebagai salah satu dalil syara’. Akan tetapi, imam syafi’i, memasukannya kedalam qiyas.
Ada beberapa syarat yang dikemukakan al-Ghozali yang dijadikan hujjah dalam mengistinbatkan hukum, yaitu :
  1. Mashlahah itu sejalan dengan jenis tindakan-tindakan syara’.
  2. Mahlahah itu tidak meninggalkan atau bertentangan dengan nash syara’
  3. Mashlahah itu termnasuk dalam kategori mashlahah yang dharuri, baik menyangkut kemashlahatan pribadi maupun kemashlahatan orang banyak dan universal, yaitu berlaku sama untuk semua orang.
Alasan jumhur ulama dalam menetapkan mashlahah dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum, antara lain adalah :
  1. Hasil indikasi terhadap ayat atau hadits menunjukan bahwa setiap hukum mengandung kemashlahatan bagi manusia.
  2. Kemashlahatan manusia akan senantiasa dipengaruhi perkembangan tempat, zaman, dan lingkungan mereka sendiri. Apabila syariat islam terbatas pada hukum-hukum yang ada saja, akan membawa kesulitan
  3. Jumhur ulama juga beralasan dengan merajuk kepada beberapa perbuatan sahabat, seperti ‘umar ibn khattab tidak memberi bagian zakat kepada para muallaf (orang yang baru masuk islam), karena menurut ‘umar kemashlahatan orang banyak menuntut untuk hal itu. Abu bakar mengumpukan al-qur’an atas saran ‘umar ibn al-khattab, sebagai salah satu kemashlahatan untuk melestarikan al-qur’an dan menuliskan al-qur’an pada satu logat bahasa di zaman ‘utsman ibn ‘affaan demi memelihara tidak terjadinya perbedaan bacaan al-qur’an itu sendiri.
C. ISTISHAB
a. Pengertian Istishab
Secara etimologi istishab berarti “minta bersahabat” atau “membandingkan sesuatu dan mendekatkannya” secara terminologi imam as-Syaukani didalam kitabnya irsad al-fuluh mrengemukakan bahwa istishab adalah “dalil yang mengandung tetapnya suatu perkara selama tidak ada sesuatu yang mengubahnya.
Maksudnya apabila dalam suatu kasus telah ada hukumnya dan tidak diketahui ada dalil lain yang mengubah hukum tersebut maka hukum yang telah ada dimasa lampau itu tetap berlaku sebagaimana adanya.
b. Macam-macam istishab.
Para ulama ushul fiqih mengatakan bahwa istishab itu ada 5 macam, yang sebagiannya disepakati dan sebagian lainnya diperselisihkan, kelima macam istishab itu adalah :
  1. Istishab hukm al-ibahah al-ashliyah  (اِسْتِصْحَابُ حُكْمِ الِابَاحَةِ ا لاَصْلِيَّةِ   )
Maksudnya menetapkan hukum sesuatu yang bermanfaat bagi manusia adalah boleh selama belum adanya dalil yang menunujukan keharamannya, istishab seperti ini menurut para ahli ushul fiqih dapat dijadikan hujah dalam menetapkan hukum.
Istishab yang menurut akal dan syara’ hukumnya tetap dan berlangsung terus
Ibn qayyim al-jauziyah (691-751. H/1292-1350 m ahli ushul fiqih hambali menyebutnya dengan “washf al-tsabit li al-hukm hatta yutsbita khilafahu”) sifat yang melekat pada suatu hukum sampai ditetapkan hukum yang berbeda dengan itu. Terhadap kehujahan istishab bentuk kedua ini terdapat perbedaan pendapat ulama ushul fiqih.
  1. Istishab terhadap dalil yang bersifat umum sebelum datangnya dalil yang mengkhususkannya dan istishab dengan nash selama tidak ada dalil naskh (yang membatalkannya).
Istishabb bentuk ketiga ini dari segi esensinya tidak diperselisihkan para ulama ushul fiqihakan tetapi dari segi penamaan terdapat perbedaam para ulama ushul fiqih.
  1. Istishab hukum akal sampai datangnya hukum syar’i.
Maksudnya uma manusia tidak diperkenalkan hukum-hukum syara’ sebelum datangnya syara’ seperti tidak adanya pembebanan   hukum dan akibat hukumnya terhadap umat manusia sampai datangnya dalil syara’ yang menentukan hukum.
Menurut ulama hanafiyah  istishab dalam bentuk ini hanya bisa menegaskan hukum yang akan datang. Sedangkan menurut ulama malikiyah, syafi’iyah dan hanabilah,   istishab seperti ini juga dapat menegaskan hukum yang telah ada maupun hukum yang akan datang.
  1. Istishab yang ditetapkan berdasarkan ijma’ tetapi keberadaan ijma’ itu diperselisihkan kehujahannya.
c.  Kehujjahan Istishab.
Para ulama ushul fiqih berbeda pendapat   tentang kuhujahan istishab ketika tidak ada dalil syara’ yang menjelaskan suatu kasus yang dihadapi.
Menurut ulama mutakalimin (ahli kalam) istishab tidak bisa dijadikan dalil, karena hukum yang ditetapkan pada masa lampau menghendaki adanya dalil. Demikian juga untuk menetapkan hukum yang sama pada masa sekarang dan yang akan datang harus pula berdasarkan dalil.
Menurut mayoritas ulama hanafiyah khususnya muta’akhirin (generasi belakangan) istishab bisa menjadi hujjah untuk menetapkan hukum yang telah ada sebelum dan menganggap hukum itu tetap berlaku. Pada masa yang akan datang tetapi tidak bisa menetapkan hukum yang akan ada.
Ulama malikiyah, syafi’iyah, hanabilah, zahiriyah dan syi’ah berpendapat bahwa istishab bisa menjadi hujjah secara mutlak untuk mentapkan hukum yang sudah ada, selama belum ada dalil yang mengubahnya.

No comments:

Post a Comment