IJMA’
Ijma’ menurut para ahli ushul fiqh
adalah kesepakatan para mujtahid di kalangan ummat islam pada suatu masa
setelah Rasulullah saw. Wafat atas hokum syara’ mengenai suatu kajadian,
Macam – macam Ijma’
Adapun ijma’ ditinjau dari segi cara
menghasilkannya, maka ia ada dua macam yaitu :
Pertama : Ijma’ sharih, yaitu
kesepakatan para mujtahid suatu masa atas hukum suatu kasus, dengan cara
masing-masing dari mereka mengemukakan pendapatnya secara jelas melalui fakta
atau putusan hukum. Maksudnya bahwasanya setiap mujtahid mengeluarkan
pernyataan atau tindakan yang mengungkapkan pendapanya secara jelas.
Kedua : Ijma’ Sukuti, yaitu sebagian
dari mujtahid suatu masa mengemukakan pendapat mereka dengan jelas mengenai
suatu kasus, baik melalui fakta atau suatu putusan hukum, dan sisa dari mereka
tidak memberi tanggapan terhadap pendapat tersebut, baik merupakan persetujuan
terhadap pendapat yang telah dikemukakan atau menentang pendapat itu.
Adapun macam yang pertama, yaitu ijma’ sharih,
maka itulah ijma’ haqiqi, dan ini merupakan hujjah syar’iyah dalam mazhab
jumhur ulama. Sedangkan macam yang kedua yaitu Ijma’ Sukuti, maka ia adalah
Ijma’ I’tibar (anggapan), karena sesungguhnyaorang yang diam saja tidak ada
kepastian, bahwa ia setuju. Oleh karena itu, tidak ada kepastian mengenai
tearwujudnya kesepakatan dan terjadinya Ijma’, dan karena inilah , maka ia
masih dipertentangkan kehijjahannya. Jumhur Ulama’ berpendapat bahwa ijma’
Sukuti bukannya hujjah, dan bahwa ijma’ tersebut tidak lebih dari keadaannya
sebagai pendapat sebagian dari individu para mujtahid.
Ulama’ hanafiyah berpendapat bahwa ijma’ sukuti
adalah hujjah, apabila terdapat suatu ketetapan bahwa mujtahid yang bersikap
diam telah dihadapkan kasus kepadanya dan dikemukakan kepadanya pendapat orang
yang mengemukakan pendapatnya mengenai kasus ini, dan ada waktu senggang yang
cukup untuk mengkaji dan membentuk pendapat namun ia diam saja, disamping itu
juga tidak ditemukan adanya suatu kecurigaan bahwa ia diam karena merasa takut
atau karena dibujuk, atau karena tidak mampu, atau karena mengejek. Karena
sesungguhnya sikap diamnya seorang mujtahid dalam posisi memberi fatwa, memberi
penjelasan, dan membentuk hukum islam setelah lewat kesempatan untuk mengkaji
dan mempelajarinnya, disamping tidak hal yang menghalang-halanginya untuk
mengemukakann pendapatnya, merupakan suatu dalil atas persetujuannya kepada
pendapat yang telah dikemukakan, sebab kalau sekiranya ia menentang, maka tidak
cukup baginya berdiam diri saja.
Prof. Abdul Wahhab Khallaf didalam bukunya ilmu
ushul fiqh beliau perpendapat, bliau menilai lebih unggul adalah pendapat
jumhur ulama. Karena seorang mujtahid yang diam, diamnya itu diliputi oleh
kondisi dan kesamara, diantaranya yang bersifat psikologi dan ada kalanya tidak
bersifat psikologi, padahal tidak mungkin meneliti seluruh kondisi dan
kesamaran dan kepastian, bahwa ia diam saja sebagai persetujuan dan keridaan
terhadap pendapat yang dikemukakan. Orang yang diam saja tidak mempunyai
pendapat, dan kepadanya tidak bisa dinisabkan pendapat yang manyetujuiatau
pendapat yang menentang. Kebanyakan yang terjadi yang disebut dengan ijma’
ialah berasal dari ijma’ sukuti.
Adapun ijma’ ditinjau dari segi
bahwa ia mempunyai dalalah qath’i terhadap hukumnya dalalah zhanni, maka ijma’
juga ada dua macam, yaitu :
Pertama : Ijma’ yang qath’i
dalalahnya terhadap hukumnya. Inilah ijma’ sharih, maksudnya bahwasanya
hukumnya dipastikan dan tidak ada jalan untuk memutuskan hukum yang berlainan
dengannya dalam kasusnya itu, dan tidak ada peluang ijthad dalam suatu
kasus setelah terjadinya ijma’ yang sharih atas hukum syara’ mengenai kasus
itu.
Kedua : Ijma’ yang zhanni
dalalahnya ats hukum, yaitu ijma’ sukuti, dalam arti bahwasanya hukumnya diduga
kuat, dan ijma’ ini tidak mengeluarkan kasus tersebut dari kedudukan sebagai
objek bagi ijtihad, karena ia merupakan ungkapan dari pendapat sekelompok
mujtahid, bulan keseluruhan mereka.
Jumhur ulama’ ushul Fiqh
berpendapat, apabila rukun-rukun ijma’telah terpenuhi , maka ijma’ tersebut
menjadi hujjah yang qath’I (pasti), wajibdiamalkan dan tidak boleh
mengingkarinya, bahkan orang yangmengingkarinya dianggap kafir, disamping itu
permasalahan yang telahditetapkan hukumnya melalui ijma’ menurut para ahli
ushul fiqh tidak bolehlagi menjadi pembahasan ulama’ generasi berikutnya.
Karena hukum yangditetapkan melalui ijma’ merupakan hukum syara’ yang qath’I
dan menempatiurutan ketiga sebagai dalil syara’ setelah alqur’an dan sunnah.
Akan tetapi, Ibrahim bin Siyar al
Nazzam (tokoh Mu’tazilah) ulama’Khawarij dan ulama’ Syi’ah, berpendapat bahwa
ijma tidak dapat dijadikanhujjah. Menurut al Nazzam, ijma’ yang digambarkan
jumhur ulama’tersebuttidak mungkin terjadi, karena tidak mungkin menghadirkan
seluruh mujtahidpada satu masa, dan menyepakatinya bersama. Selain itu,
masing-masingdaerah mempunyai struktur soaial dan budaya yang berbeda.
Adapun bagi kalangan Syi’ah,
ijma’ tidak mereka terima sebagaihujjah, karena pembuatan hukum menurut
keyakinan merekaadalah imamyang mereka anggap ma’sum (terhindar dari dosa).
Ulama’ Khawarij dapatmenerima ijma’ sahabat sebelum terjadinya perpecahan
politik di kalangansahabat.
Ijma’ seperti yang didefinisikan
jumhur ulama’ Ushul Fiqh di atastidak dapat mereka terima, karena sesuai dengan
keyakinan bahwa ijma’ ituharus disepakati umat Islam, dan orang-orang yang
tidak seiman denganmereka, dipandang bukan mu’min.
QIYAS
Qiyas menurut istilah ahli ilmu
ushul fiqh adalah : mempersamakan suatu kasus yang tidak ada nash hukumnya
dengan suatu kasus yang ada nash hukumnya, dalam hukum yang ada nashnya, karena
persamaan kedua itu dalam illat hukumnya.
Maka apabila suatu nash telah
menunjukkan hukum mengenai suatu kasus dan illat hukum itu telah diketahui
melalui salah satu metode untuk mengetahui illat hukum, kemudian ada kasus
lainnya yang sama dengan kasus yang ada nashnya itu dalam suatu illat yang
illat hukum itu juga terdapat pada kasus itu, maka hukum kasus itu disamakan dengan
hukum kasus yang ada nashnya, berdasarkan atas persamaan illatnya karena
sesungguhnya hukum itu ada di mana illat hukum ada.
B.
Rukun-rukun Qiyas
Setiap qiyas terdiri dari empat
rukun yaitu :
- Al-ashlu, yaitu : Sesuatu yang ada nash hukumnya. ia disebut juga al-maqis ‘alaih (yang diqiyaskan kepadanya), mahmul ‘alaih (yang dijadikan pertanggungan), dan musyabbah bih (yang diserupakan dengannya).
- Al-far’u, yaitu : Sesuatu yang tidak ada nash hukumnya. ia juga disebut al-maqis (yang diqiyaskan), al-mahmul (yang dipertanggungkan), dan al-musyabbah (yang diserupakan).
- Hukum Ashl, yaitu : Hukum syara’ yang ada nashnya pada al-ashl (pokok)nya, dan ia dimaksudkan untuk menjadi hukum pada al-far’u (cabangnya).
- Al-‘illat, yaitu : Suatu sifat yang dijadikan dasar untuk membentuk hukum pokok, dan berdasarkan adanya keberadaan sifat itu pada cabang (far’u), maka ia disamakandengan pokoknya dari segi hukumnya.
Dari segi adanya anggapan dan
ketiadaan anggapan syar’i terhadap sifat yang sesuai, maka para ahli ilmu ushul
fiqh membagi sifat yang sesuai (munasib) menjadi empat macam, yaitu :
- Munasib muatstsir (sifat yang sesuai yang memberikan pengaruh).
- Munasib mulaim (sifat yang sesuai lagi cocok).
- Munasib mursal (sifat yang sesuai lagi bebas).
- Munasib mulgha (sifat yang sesuai yang sia-sia).
Berikut ini adalah penjelasan
empat macam illat dan contoh-contohnya. :
- Munasib muatstsir : yaitu suatu sifat yang sesuai dimana syari’ telah menyusun hukum sebagai illat hukm yang disusun berdasarkan kesesuaiannya dengannya misalnya, Firman Allah SWT :
وَيَسْأَلُوْنَكَ عَنِ اْلمَحِيْضِ.قُلْ هُوَ اَذًى فَاعْتَزِلُوْاالنِّسَاءَ
فِى المَحِيْضِ.
Artinya : “Mereka
bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah haidh itu adalah suatu kotoran,
oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh….”
(Qs. Al-Baqarah (2) : 222).
Shighat nash telah jelas bahwa
illathukum ini adalah kotoran tersebut. Oleh karena itu, maka kotoran tersebut
yang mewajibkan menjauhkan diri dari wanita pada waktu haidhnya merupakan sifat
yang munasib muatstsir.
- Munasib mulaim. Yaitu suatu sifat yang sesuai yang mana syari’ telah menyusun hukum yang sesuai dengan sifat itu, namun tidak ada nash maupun ijma’ yang menetapkannya sebagai illat hukum menurut pandangan syari’itu sendiri, yang disusun sesuai dengan sifat itu. Hanya saja berdasarkan nash atau ijma’ diperoleh ketetapan bahwa sifat itu dianggap illat hukum dari hukm sejenis yang oleh syari’ telah disusun hukumnya sesuai dengan sifat itu, “contoh : sifat yang sesuai yang dianggap oleh syari’ sebagai illat hukum dari jenis hukum yang dia telah menyusun hukum sesuai dengannya ialah: keadaan masih kecil bagi tetapnya kewalian seorang ayah dalam mengawinkan anak perempuan yang masih kecil.
- Munasib mursal. : Suatu sifat yang mana syari’ tidak menyusun hukum sesuai dengan sifat itu, dan tidak ada dalil syari’ yang menunjukkan akan anggapan-Nya dengan salah satu bentuk anggapan maupun dengan penyia-nyiaan anggapan-Nya. Ia adalah munasib, artinya berusaha mewujudkan kemaslahatan, akan tetapi ia juga mursal, contohnya : maslahatan yang menjadi dasar para sahabat dalam membentuk hukum pembayaran pajak atas tanah pertanian, pembuatan mata uang, pentatwinan Al-qur’an, dan penyabarannya.
- Munasib mulgha, yaitu : Suatu sifat yang ternyata bahwasanya mendasarkan hukum atas sifat itu terdapat perwujudan kemaslahatan, namun syari’ tidak menyusun hukum sesuai dengannya, dan syari’ tidak menunjukkan berbagai dalil yang menunjukkan pembatalan anggapannya, misalnya menetapkan hukuman khusus bagi orang yang berbuka puasa dengan sengaja pada bulan ramadhan, untuk masuk menjerakannya.
D. Cara Mencari
Illat (Masalah Al-Illat)
Illat ialah suatu sifat yang
terdapat pada suatu ashl (pokok) yang menjadi dasar daripada hukumnya, dan
sifat itulah dapat diketahui adanya hukum itu pada far’ (cabangnya).
Misalnya, memabukkan adalah sifat
yang ada pada khamar yang menjadi dasar pengharaman, dan dengan adanya sifat
memamukkan inilah diketahui pengharaman terhadap semua minuman keras yang
memabukkan. Penganiayaan adalah suatu sifat dalam jual beli seseorang atas jual
beli saudaranya, yang menjadi dasar pengharamannya, dan dengan adanya sifaat
penganiayaan itulah diketahui pengharaman sewa-menyewa seseorang atas sesuatu
yang telah disewa saudaranya. Inilah yang dimaksudkan oleh para ahli usul fiqh
dengan perkataan mereka yang artinya:
“Illat adalah sesuatu yang
memberitahukan adanya hukum”.
Illat juga disebut juga : Manathul
Hukm (hubungan hukum), dan sebab hukum serta tanda hukum.
Untuk mencari Illat, ada beberapa
syarat yang harus kita ketahui yaitu :
Pertama : Bahwa
Illat itu haruslah berupa suatu sifat yang jelas.
Kedua
: Bahwa sifat itu haruslah pasti.
Katiga
: Bahwa sifat itu merupakan hal yang
sesuai.
Keempat : Bahwa ia
merupakan suatu sifat yang terbatas pada ashl (pokoknya).
No comments:
Post a Comment