Monday, March 16, 2015

Urf



Urf, Sadduzzarih, Qaulu Shahbi
1.         Pengertian ‘urf
Kata ‘Urf secara etimologi berarti “ sesuatu yang di pandang baik dan diterima oleh akal sehat ” sedangkan secara terminology, seperti yang dikemukakan oleh                   
    Abdul - karim  Zaidah, istilah ‘Urf berarti : “ Sesuattu yang tidak asing lagi bagi suatu  masyarakat karena telah menjadi kebiasaan dan menyatu dengan kehidupan mereka baik berupa perbuatan atau perkataan ”.
2.         Landasan Hukum ‘urf
Menurut hasil penelitian Al - Tayyib Khudari al-Sayyid, guru besar Ushul Fiqih di Universitas Al - Azhar Mesir dalam karyanya fi al-ijtihad ma la nassa fih, bahwa mazhab yang dikenal banyak menggunakan ‘Urf sebagai landasan hokum adalah kalangan Hanafiyah dan kalangan malikiyyah, dan selanjutnya oleh kalangan Hanabilah dan kalangan Syafi’iyah. Menurutnya, pada prinspnya mazhab - mazhab besar fiqih tersebut sepakat menerima adat istiadat sebagai landasan pembentukan hokum, meskipun dalam jumlah dan rinciannya terdapat perbedaan pendapat diantara mazhab - mazhab tersebut, sehingga ‘Urf dimasukkan kedalam kelompok dalil-dalil yang diperselisihkan dikalangan ulama. ‘Urf mereka terima sebagai landasan hokum dengan beberapa alasan, antara lain :
Surat al-a’raf ayat 199 : Yang artinya : Jadilah engakau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf ( al-‘urfi ), serta berpalinglah dari orang - orang yang bodoh.” ( QS. Al-A’raf 199 ).
Kata Al-‘Urf dalam ayat tersebut, dimana umat manusia disuruh mengerjakannya, oleh Ulama Ushul fiqih dipahami sebagai sesuatu yang baik dan telah menjadi kebiasaan masyarakat. Berdasarkan itu maka ayat tersebut dipahami sebagai perintah untuk mengerjakan sesuatu yang telah dianggap baik sehingga telah menjadi tradisi dalam suatu masyarakat.
3.         Macam-Macam ‘urf
Para Ulama Ushul fiqh membagi ‘Urf kepada  tiga macam :
a.         Al -‘Urf Al - Lafzhi
Adalah kebiasaan masyarakat dalam mempergunakan lafal / ungkapan tertentu dalam mengungkapkan sesuatu, sehingga makna ungkapan itulah yang dipahami dan terlintas dalam pikiran masyarakat. Misalnya ungkapan “ daging ” yang berarti daging sapi ; padahal kata - kata “ daging ” mencakup seluruh daging yang ada. Apabila seseorang mendatangi penjual daging, sedangkan penjual daging                              itu memiliki bermacam-macam daging, lalu pembeli mengatakan “ saya beli daging 1 kg ” pedagang itu langsung mengambil daging sapi, karena kebiasaan masyarakat setempat telah mengkhususkan penggunaan kata daging pada daging sapi.
b.        Al -‘urf al -‘amali.
Adalah kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan perbuatan biasa atau mu’amalah keperdataan. Yang dimaksud “ perbuatan biasa ” adalah kebiasaan masyrakat dalam masalah kehidupan mereka yang tidak terkait dengan kepentingan orang lain, seperti kebiasaan libur kerja pada hari-hari tertentu dalam satu minggu, kebiasaan masyarakat memakan makanan khusus atau meminum minuman tertentu dan kebiasaan masyarakat dalam memakai pakain tertentu dalam acara-acara khusus.


4.         Pengertian saddu dzari’ah
Kata sadd adz-dzari’ah (سد الذريعة) merupakan bentuk frase ( idhafah ) yang terdiri dari dua kata, yaitu sadd ( سَدُّ) dan adz-dzari’ah (الذَّرِيْعَة). Secara etimologis, kata    as-sadd (السَّدُّ) merupakan kata benda abstrak ( mashdar ) dari سَدَّ يَسُدُّ سَدًّا. Kata as-sadd tersebut berarti menutup sesuatu yang cacat atau rusak dan menimbun lobang.  Sedangkan adz-dzari’ah (الذَّرِيْعَة) merupakan kata benda ( isim ) bentuk tunggal yang berarti jalan, sarana ( wasilah ) dan sebab terjadinya sesuatu. Bentuk jamak dari                          adz-dzari’ah (الذَّرِيْعَة) adalah adz-dzara’i (الذَّرَائِع). Karena itulah, dalam beberapa kitab usul fikih, seperti Tanqih al-Fushul fi Ulum al-Ushul karya Al - Qarafi, istilah yang digunakan adalah sadd adz-dzara’i. Pada awalnya, kata adz-adzari’ah dipergunakan untuk unta yang dipergunakan orang Arab dalam berburu.
Menurut al-Qarafi, sadd adz-dzari’ah adalah memotong jalan kerusakan                            ( mafsadah ) sebagai cara untuk menghindari kerusakan tersebut. Meski suatu perbuatan bebas dari unsur kerusakan ( mafsadah ), namun jika perbuatan itu merupakan jalan atau sarana terjadi suatu kerusakan ( mafsadah ), maka kita harus mencegah perbuatan tersebut.
5.         Kehujjahan  Sadd Adz-Dzari’ah
Di kalangan ulama’ ushul terjadi perbedaan pendapat dalam menetapkan kehujjahan sadd adz-dzari’ah sebagai dalil syara’.Ulama’ Malikiyah dan Hanabilah   dapat menerima.kehujjahannya sebagai salah satu dalil syara’.
Alasan mereka antara lain : Firman Allah SWT dalam surat Al-An’am ayat 108 :
ولاتسبواالذين يدعون من دون الله بغيرعلم…..الأية
Artinya : “ Dan jangan kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah,karena mereka akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.                  ( QS.Al-An’am : 108 )
6.         Pengertian Qaulu Shabih
Kata “ Qaul ” adalah mashdar dari qaala-yaquulu qaulan yang arti mashdar tersebut adalah “ perkataan ”. Sedangkan kata “ sahahabi ” artinya adalah shahabat atau teman. Jadi yang di maksud dengan “ Qaulush shahabi ” disini adalah pendapat, atau fatwa para shahabat nabi SAW, tentang suatu kasus yang belum dijelaskan hukumnya secara tegas didalam al-quran dan sunnah. Qaul shahabi juga Termasuk salah satu         sumber pengambilan hukum islam setelah urutan sumber-sumber utama yang disepakati, yaitu Al - Quran, As - Sunnah, Ijma’ dan Qiyas.
7.         Kedudukan Qaulu Shabih
Mengenaipendapat shahabat terhadap orang-orang sesudah shahabat dapat diperincikan sebagai berikut :
1.        Pendapat shahabat dalam hal yang tidak ditanggapi oleh akal fikiran. Pendapat semacam ini menjadi hujjah terhadap kaum muslimin, karena yang dikatakannya tidak boleh tidak berasal dari nabi.
2.        Pendapat shahabat yang tidak disalahi oleh shahabat lain. Pendapat semacam ini menjadi hujjah bagi kaum muslimin, karena pendapat tersebut merupakan ijma’ shahabat.
3.        Pendapat shahabat itu hasil ijtihadnya sendiri, sedangkan diantara shahabat ada yang tidak sepakat dengan pendapat itu. Pendapat shahabat seperti inilah yang diperselisihkan kehujjahannya dikalangan ulama

No comments:

Post a Comment