Urf, Sadduzzarih, Qaulu Shahbi
1.
Pengertian ‘urf
Kata ‘Urf secara etimologi berarti “ sesuatu yang di
pandang baik dan diterima oleh akal sehat ” sedangkan secara terminology,
seperti yang dikemukakan oleh
Abdul - karim
Zaidah, istilah ‘Urf berarti : “ Sesuattu yang tidak asing lagi bagi
suatu masyarakat karena telah menjadi kebiasaan dan menyatu dengan
kehidupan mereka baik berupa perbuatan atau perkataan ”.
2.
Landasan
Hukum ‘urf
Menurut hasil penelitian Al - Tayyib Khudari
al-Sayyid, guru besar Ushul Fiqih di Universitas Al - Azhar Mesir dalam
karyanya fi al-ijtihad ma la nassa fih, bahwa mazhab yang dikenal banyak
menggunakan ‘Urf sebagai landasan hokum adalah kalangan Hanafiyah dan kalangan
malikiyyah, dan selanjutnya oleh kalangan Hanabilah dan kalangan Syafi’iyah.
Menurutnya, pada prinspnya mazhab - mazhab besar fiqih tersebut sepakat
menerima adat istiadat sebagai landasan pembentukan hokum, meskipun dalam
jumlah dan rinciannya terdapat perbedaan pendapat diantara mazhab - mazhab
tersebut, sehingga ‘Urf dimasukkan kedalam kelompok dalil-dalil yang
diperselisihkan dikalangan ulama. ‘Urf mereka terima sebagai landasan hokum dengan beberapa alasan, antara
lain :
Surat al-a’raf ayat 199 : Yang artinya : “ Jadilah engakau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan
yang ma’ruf ( al-‘urfi ), serta berpalinglah dari orang - orang yang bodoh.” ( QS. Al-A’raf 199 ).
Kata Al-‘Urf dalam ayat tersebut, dimana umat manusia disuruh
mengerjakannya, oleh Ulama Ushul fiqih dipahami sebagai sesuatu yang baik dan
telah menjadi kebiasaan masyarakat. Berdasarkan itu maka ayat tersebut dipahami
sebagai perintah untuk mengerjakan sesuatu yang telah dianggap baik sehingga
telah menjadi tradisi dalam suatu masyarakat.
3.
Macam-Macam ‘urf
Para Ulama Ushul fiqh membagi ‘Urf kepada tiga macam :
a.
Al -‘Urf Al - Lafzhi
Adalah kebiasaan masyarakat dalam mempergunakan lafal
/ ungkapan tertentu dalam mengungkapkan sesuatu, sehingga makna ungkapan itulah
yang dipahami dan terlintas dalam pikiran masyarakat. Misalnya ungkapan “
daging ” yang berarti daging sapi ; padahal kata - kata “ daging ” mencakup
seluruh daging yang ada. Apabila seseorang mendatangi penjual daging, sedangkan
penjual daging itu memiliki bermacam-macam
daging, lalu pembeli mengatakan “ saya beli daging 1 kg ” pedagang itu langsung
mengambil daging sapi, karena kebiasaan masyarakat setempat telah mengkhususkan
penggunaan kata daging pada daging sapi.
b.
Al -‘urf
al -‘amali.
Adalah
kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan perbuatan biasa atau mu’amalah
keperdataan. Yang dimaksud “ perbuatan biasa ” adalah kebiasaan masyrakat dalam
masalah kehidupan mereka yang tidak terkait dengan kepentingan orang lain,
seperti kebiasaan libur kerja pada hari-hari tertentu dalam satu minggu, kebiasaan
masyarakat memakan makanan khusus atau meminum minuman tertentu dan kebiasaan
masyarakat dalam memakai pakain tertentu dalam acara-acara khusus.
4. Pengertian saddu dzari’ah
Kata sadd adz-dzari’ah (سد الذريعة) merupakan bentuk frase ( idhafah ) yang terdiri dari
dua kata, yaitu sadd ( سَدُّ) dan adz-dzari’ah
(الذَّرِيْعَة).
Secara etimologis, kata as-sadd (السَّدُّ) merupakan kata benda abstrak ( mashdar ) dari سَدَّ يَسُدُّ سَدًّا. Kata as-sadd tersebut berarti menutup sesuatu
yang cacat atau rusak dan menimbun lobang.
Sedangkan adz-dzari’ah (الذَّرِيْعَة) merupakan kata benda ( isim ) bentuk tunggal
yang berarti jalan, sarana ( wasilah ) dan sebab terjadinya sesuatu.
Bentuk jamak dari adz-dzari’ah (الذَّرِيْعَة) adalah adz-dzara’i (الذَّرَائِع). Karena itulah, dalam beberapa kitab usul fikih,
seperti Tanqih al-Fushul fi Ulum al-Ushul karya Al - Qarafi, istilah yang digunakan adalah sadd adz-dzara’i. Pada
awalnya, kata adz-adzari’ah dipergunakan untuk unta yang dipergunakan
orang Arab dalam berburu.
Menurut
al-Qarafi, sadd adz-dzari’ah adalah memotong jalan kerusakan ( mafsadah )
sebagai cara untuk menghindari kerusakan tersebut. Meski suatu perbuatan bebas
dari unsur kerusakan ( mafsadah ), namun jika perbuatan itu merupakan
jalan atau sarana terjadi suatu kerusakan ( mafsadah ), maka kita harus
mencegah perbuatan tersebut.
5. Kehujjahan
Sadd Adz-Dzari’ah
Di kalangan
ulama’ ushul terjadi perbedaan pendapat dalam menetapkan kehujjahan sadd
adz-dzari’ah sebagai dalil syara’.Ulama’ Malikiyah dan Hanabilah dapat menerima.kehujjahannya sebagai salah
satu dalil syara’.
Alasan
mereka antara lain : Firman Allah SWT dalam surat Al-An’am ayat 108 :
ولاتسبواالذين يدعون من دون الله بغيرعلم…..الأية
Artinya : “ Dan
jangan kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah,karena mereka
akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. ( QS.Al-An’am : 108 )
6.
Pengertian
Qaulu Shabih
Kata “ Qaul
” adalah mashdar dari qaala-yaquulu
qaulan yang arti mashdar tersebut adalah “ perkataan ”. Sedangkan kata “
sahahabi ” artinya adalah shahabat atau teman. Jadi yang di maksud dengan “
Qaulush shahabi ” disini adalah pendapat, atau fatwa para shahabat nabi SAW,
tentang suatu kasus yang belum dijelaskan hukumnya secara tegas didalam
al-quran dan sunnah. Qaul shahabi juga Termasuk salah satu sumber pengambilan hukum islam setelah
urutan sumber-sumber utama yang disepakati, yaitu Al - Quran, As - Sunnah,
Ijma’ dan Qiyas.
7. Kedudukan Qaulu Shabih
Mengenaipendapat
shahabat terhadap orang-orang sesudah shahabat dapat diperincikan sebagai
berikut :
1. Pendapat
shahabat dalam hal yang tidak ditanggapi oleh akal fikiran. Pendapat semacam
ini menjadi hujjah terhadap kaum muslimin, karena yang dikatakannya tidak boleh
tidak berasal dari nabi.
2. Pendapat
shahabat yang tidak disalahi oleh shahabat lain. Pendapat semacam ini menjadi
hujjah bagi kaum muslimin, karena pendapat tersebut merupakan ijma’ shahabat.
3. Pendapat
shahabat itu hasil ijtihadnya sendiri, sedangkan diantara shahabat ada yang
tidak sepakat dengan pendapat itu. Pendapat shahabat seperti inilah yang
diperselisihkan kehujjahannya dikalangan ulama
No comments:
Post a Comment